Danau Tiga Warna Kelimutu
Kelimutu adalah gunung berapi yang terletak di Pulau Flores, Provinsi NTT, Indonesia. Lokasi gunung ini tepatnya di Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende. Luas ketiga danau itu sekitar 1.051.000 meter persegi dengan volume air 1.292 juta meter kubik. Batas antar danau adalah dinding batu sempit yang mudah longsor. Dinding ini sangat terjal dengan sudut kemiringan 70 derajat. Ketinggian dinding danau berkisar antara 50 sampai 150 meter.
Gunung ini memiliki tiga buah danau kawah di puncaknya. Danau ini
dikenal dengan nama Danau Tiga Warna karena memiliki tiga warna yang berbeda. Kelimutu
merupakan gabungan kata dari "keli" yang berarti gunung dan kata
"mutu" yang berarti mendidih. Menurut kepercayaan penduduk setempat,
warna-warna pada danau Kelimutu memiliki arti masing-masing dan memiliki
kekuatan alam yang sangat dahsyat. Danau atau Tiwu Kelimutu di bagi atas tiga
bagian yang sesuai dengan warna - warna yang ada di dalam danau. Danau berwarna
biru atau "Tiwu Nuwa Muri Koo Fai" merupakan tempat berkumpulnya
jiwa-jiwa muda-mudi yang telah meninggal. Danau yang berwarna merah atau
"Tiwu Ata Polo" merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang yang
telah meninggal dan selama ia hidup selalu melakukan kejahatan/tenung.
Sedangkan danau berwarna putih atau "Tiwu Ata Mbupu" merupakan tempat
berkumpulnya jiwa-jiwa orang tua yang telah meninggal.
Penjelasan secara sains ini baru terjadi belakangan ini setelah
adanya penelitian para geolog. Namun sebelum adanya Sains dan Ilmu Pengetahuan
Modern, masyarakat Ende, khususnya yang berdiam di sekitar Danau tiga warna ini
mempunyai mitos tersendiri yang diwariskan secara turun-temurun kepada generasi
berikutnya berkaitan dengan sakralitas Gunung sekaligus Danau Kelimutu ini.
Bagi orang Ende, Danau ini merupakan salah satu pusat kebudayaan dan religi
asli para leluhurnya. Mereka mempunyai keyakinan bahwa ketiga Danau ini
merupakan sebuah khayangan bagi orang sudah meninggal.
Danau Kelimutu Salah Satu Pusat Religi Orang
Ende-Lio
Selain menampilkan keindahan panorama alamnya, puncak Kelimutu
memiliki arti dan makna religius bagi orang Lio (suku asli yang mendiami
Kabupaten Ende). Puncak Kelimutu dipandang orang Ende secara turun-temurun
sebagai tempat sakral yang disebut dalam bahasa setempat keli eo bhisa gia (gunung yang
sakral). Di gunung inilah terdapat tiga tiwu (danau)
yang beraneka warna dan diyakini sebagai tempat kediaman jiwa-jiwa orang yang
telah meninggal. Pertama, tiwu ata polo (danau
suanggi) yang airnya berwarna merah dan merupakan kediaman bagi arwah
orang-orang dewasa. Kedua, tiwu nuamuri jemu
(danau pemuda-pemudi) yang airnya berwarna hijau. Danau ini menjadi
tempat kediaman orang-orang muda. Ketiga, tiwu ata bupu (danau
orang tua) yang airnya berwarna putih. Namun, warna ketiga danau itu sering
berubah-ubah: merah menjadi coklat tua, hijau menjadi abu-abu, dan putih
menjadi coklat muda.
Keyakinan ini bertolak dari pandangan orang Lio akan tiga penguasa
dunia orang mati. Tiga penguasa ini mendiami tiga tempat yang berbeda,
yang semuanya dianggap sebagai tempat angker yakni: Kelimutu, Keli Samba, dan
Mutu Busa. Ketiga tempat ini dikuasai oleh tiga sosok yang berbeda yakni Konde,
Raja, dan Ratu. Konde adalah penguasa yang mendiami Danau Kelimutu. Ratu,
saudari Konde, menjadi penguasa Mutu Busa (sisi sebelah barat Danau
Kelimutu-dekat Keli Do). Raja, adik Konde, menjadi penguasa di Keli Sumba.
Orang Lio-Ende, percaya bahwa setiap jiwa orang yang meninggal
yang hendak menuju Kelimutu akan melewati sebuah pintu yang disebut Pene Konde (pintu konde). Di pintu
ini, setiap jiwa akan diperiksa “status kelayakannya” apakah sudah pantas masuk
ke Kelimutu (artinya: mati) ataukah tidak. Jika dianggap belum layak, maka
jiwanya akan diusir kembali (hidup lagi) yang disebut dengan konde keda. Karena itu, meskipun
sudah meninggal beberapa jam atau beberapa hari, namun jika dianggap belum
layak, jiwa akan diusir Konde untuk kembali ke dunia dan hidup
kembali. Keyakinan ini dibuktikan dengan kesaksian masyarakat setempat
bahwa sering terjadi fenomena seperti itu di masyarakat Lio.
Dengan demikian, bagi orang Lio yang mendiami Kabupaten Ende,
danau Kelimutu juga merupakan pusat religi asli para leluhur. Karena itu,
mereka harus menjaga harmoni dengan Danau Kelimutu. Perubahan warna Danau
Kelimutu bagi masyarakat Lio bukanlah sekedar sebuah fenomena alam, tetapi
sebuah isyarat/peringatan akan bencana yang mesti mereka antisipasi. Perubahan
warna danau terjadi karena ada ulah-ulang orang Lio yang kurang berkenan di
hati Konde, Sang Penguasa Kelimutu.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila anda mengunjungi
Danau Kelimutu, anda akan merasakan aroma magis dan mistis. Jika merasakannya,
maka jangan lupakan latar belakang yang dijelaskan dalam uraian ini.
Lahirnya mitos
Danau 3 Warna |
Nama
Kelimutu mendunia sejak tiga abad lalu, saat pendudukan kolonial Belanda di
nusantara. Meskipun tak banyak, ada saja orang Belanda dan Eropa yang
mengunjungi Kelimutu. Pesona Kelimutu terletak pada tiga danau warna yang
menghuni kawah gunung setinggi 1600 m ini. Ketiga danau ini memiliki warna yang
berbeda, dan selalu berubah secara berkala. Di tahun 1960-an, warna itu adalah
putih, hijau, dan biru. Ketika saya mengunjunginya di awal 1990-an, warnanya
menjadi hitam, hijau terang dan merah kecoklatan. Namun kini sudah menjadi
hitam, hijau kebiruan, dan biru kehitaman.
“Perubahan warna
ini diperkirakan terjadi karena perubahan kandungan mineral yang terdapat di
dalam danau,” kata Usmar Baharmin, lelaki yang sudah puluhan tahun bekerja di
Pos Pengamatan Gunung Api Kelimutu. Namun dia tak bisa menyebutkan mineral apa
saja itu, karena penelitian tentang hal itu masih terbatas. Menurutnya, pernah
ada dua orang asing mencoba meneliti air danau dengan menurunkan sebuah perahu
ke danau di kedalaman sekitar 50 m. Namun keduanya raib entah kemana.
Penjelasan
Baharmin mungkin bisa memuaskan keingintahuan Annette dan wisatawan lainnya.
Namun tidak bagi penduduk setempat seperti Sebastian Onga dan Barnabas. Apalagi
banyak kisah misteri yang menyelimuti kehidupan danau. Mereka lalu mencari
jawab keajaiban Kelimutu sejak berabad lalu, jauh sebelum ilmu pengetahuan
berkembang, dan melahirkan aneka mitos dan legenda yang unik dan menawan.
Sebuah
legenda yang mereka percayai adalah Kelimutu sebagai danau para arwah. Menurut
masyarakat adat Ko’anara –penduduk asli yang menghuni desa-desa di kawasan
Gunung Kelimutu—ada tiga jenis arwah orang mati. Yaitu arwah mereka yang
berbuat kebaikan di dunia, arwah para pendosa dan penjahat, serta arwah
anak-anak dan remaja yang masih bisa mendapatkan pengampunan di akhirat. Ketiga
jenis arwah ini menempati tiga danau di kawah Kelimutu. Danau hitam dihuni oleh
arwah para pendosa, danau hijau untuk arwah anak-anak, dan danau merah untuk
arwah orang suci. Sebelum menuju surga atau neraka, arwah ini akan menunggu di
ketiga danau.
Untuk
menguatkan legenda yang ada, penduduk lalu mencari penjelasan logis dengan
menghubungkan peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Seperti yang dilakukan
Barnabas, pemandu wisata sekaligus penjual minuman di puncak Kelimutu. “Danau
putih itu berubah menjadi hitam saat terjadi pemberontakan PKI tahun 1965,
karena banyak orang jahat yang dibunuh,” kisahnya. Dia juga menghubungkan
perubahan warna danau hijau menjadi merah saat terjadi pembunuhan massa PDI
tahun 1996 lalu, ketika banyak orang tak berdosa menjadi korban.
Langit Moni |
Legenda
Kelimutu tak lepas dari keberadaan Desa Adat Moni dan masyarakat adat Ko’anara
sebagai penghuni pertama tanah leluhur ini. Mereka adalah keturunan suku bangsa
Lio yang banyak tersebar di Kabupaten Ende. Orang Ko’anara mendiami desa-desa
di pucuk gunung seperti Mboti dan Pome, di sepanjang jalan raya seperti Moni,
Wolowaru, hingga ke pedalaman yang jauh di Potu, Woluara, Jopu, Wolojita,
dan Nggela. Ada pula yang tinggal di kota, bahkan di luar pulau.. Keterikatan
pada tanah leluhur membuat mereka selalu kembali tatkala digelar upacara adat.
Tentu saja sambil membawa upeti seperti babi, kerbau, dan kuda, yang
melambangkan kesetiaan sekaligus keberhasilan mereka hidup di rantau.
Konon,
orang Ko’anara adalah keturunan jin, karena nenek moyangnya menikah dengan
putri dari bangsa jin. Mereka kemudian disebut inne amma (ibu bapak), dan
menurunkan orang-orang Moni. Itu sebabnya penduduk Kelimutu percaya memiliki
kekuatan spiritual yang besar, sehingga berbagai upacara adat yang digelar
penuh dengan nilai magis. Inne-amma tinggal di sauriyah, rumah adat yang
terbuat dari kayu. Kini situs rumah adat ini masih bisa kita saksikan di Desa
Moni, yang menjadi pusat kebudayaan Ko’anara. Di sauriyah tinggal beberapa
keluarga tetua adat. Para tetua adat pun sering berkumpul di sini. Namun mereka
menggunakan rumah keda yang berada di depan rumah adat, untuk
bermusyawarah. Misalnya, saat akan menggelar upacara adat. Makam leluhur orang
Ko’anara juga terdapat di kompleks situs. Jalan menuju makam berupa batu-batuan
yang ditata mirip anak tangga, dan melambangkan tingkatan masyarakat Ko’anara
di masa lalu. Batu pertama melambangkan pintu gerbang pertama.. Sebagai
penghormatan terhadap arwah leluhur, pengunjung biasanya meletakkan sesaji
berupa rokok di sini. Batu terakhir merupakan jalan menuju pimpinan tertinggi
Ko’anara, sang inne-amma.
Kini,
keturunan inne-amma menghuni kuburan umum jika meninggal. Namun beberapa
keluarga tetua adat masih ada yang mengawetkan tulang-belulang kepala
keluarganya jika meninggal. Tulang belulang ini disimpan di sebuah peti yang
tertutup, lalu diletakkan di rumah baku bersama barang-barang berharga seperti
gading gajah, emas, perhiasan, atau pakaian. Namun raibnya beberapa barang
berharga dan sepasang tulang lelaki-perempuan berumur ratusan tahun, membuat
kebiasaan ini mulai ditinggalkan.
Tarian hujan
Mayoritas orang
Ko’anara hidup dari bertani. Tanah di kaki gunung Kelimutu amat subur. Tak
hanya menumbuhkan padi, ubi, dan jagung, tapi juga coklat, cengkeh, nila dan
moke. Sayangnya hal ini tak mampu mengangkat ekonomi penduduk setempat.
Kemiskinan merajalela akibat angka kelahiran yang tak terkendali dan
keterbelakangan. Kucuran dana bantuan dari swasta dan pemerintah kerap diberi
aparat pemerintahan setempat. Air sebagai sumber kehidupan yang melimpah pun
sulit didapat, karena pengelolaannya tak efisien. Maka, hujan menjadi
satu-satunya harapan mereka.
Meskipun puluhan
ribu turis datang setiap tahun terhipnotis oleh keindahan Gunung Kelimutu,
namun berkah pariwisata ini hanya bisa dinikmati pemilik losmen, restoran, dan
modal saja. Mayoritas penduduk cuma menjadi penonton sambil sesekali menawarkan
kopi atau teh panas seperti Barnabas. Mungkin itu yang membuat mereka begitu
antusias setiap kali digelar upacara adat. Mereka berharap arwah nenek moyang
akan membantu mereka. Mayoritas pemeluk agama Katolik ini memang memiliki
ikatan yang kuat dengan arwah leluhur.
Salah
satu upacara adat yang penting adalah upacara memohon hujan. Tatkala kemarau
amat panjang, bencana kelaparan pun siap mengancam. Lumbung padi desa tak
selalu bisa diharapkan. Maka para tetua adat segera berkumpul di rumah keda
untuk menentukan waktu upacara. Bambu berisi beras dan dilumuri darah babi
segera dibakar di dalam tungku. Jika bambu meledak dan meninggalkan serpihan
yang rapi, maka upacara segera digelar. Jika tidak, pembakaran bambu akan
diulang lagi.
Ketika upacara
dimulai, kepala adat akan mengisi saga, tugu persembahan dengan sesaji berupa
bunga, tembakau, dan dupa. Begitu dupa terbakar, kepala adat membaca mantra
diikuti oleh pemukulan dhou dha, alat musik dari kayu. Lalu para gadis segera
menari, menantang teriknya mentari di siang bolong. Tarian berhenti ketika
hujan mulai turun. Konon, tarian hujan inilah yang membuat tanah Kelimutu tetap
subur, dan para arwah kerasan bersemayam di tiga danaunya, karena airnya tak
pernah kering. (pernah dimuat di majalah familia, mei 2004).
Sumber
:
0 komentar:
Posting Komentar